Ketika Shalat Kiblatnya Meleset Sedikit, Sahkah Shalatnya?.

Tidak Harus Tepat Persis Menghadap Kiblat. (Ikuti Keterangan di bawah ini).
Rasiyambumen.com Kajian Khazanah Islam (kategori posting Shalat).
Pembaca budiman, Bimbingan serta Ridha-Nya semoga selalu tercurah dan mengiringi kita dalam segala aktivitas di dunia ini,untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Rahmat-Nya di Akhirat kelak. Aamiin.

Para ulama berbeda pendapat tentang akurasi kiblat untuk shalat. 
Shalat adalah perintah Allah SWT secara langsung yang dicontohkan kepada Nabi Muhammad saw ketika beliau menerima panggilan untuk Isra' dan sekaligus Mi'raj ke Sidratul Munthaha. Shalat dengan jumlah 17 raka'at dari lima waktu yang telah ditentukan. Hal ini Rasulullah s.a.w. mengajarkan kepada umatnya lengkap dengan tata caranya. Shalat yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w sebagai berikut : 
Artinya : Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku Shalat. (HR. Bukhari, 631, 5615, dan 6008). 
Dari sahnya shalat adalah salah satunya harus menghadap kiblat.
Ketentuan ini telah ditegaskan dalam Al-Qur'an pada surat Al-Baqarah sebagai berikut : 
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke lagit (96), Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidaklah lengah dari apa yang mereka kerjakan". (QS, Al-Baqarah : 144).
Keterangan :  (96) Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliaau menghadap ke Baitullah.  
Adapun sebab turunnya wahyu di atas. 
Dalan suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah s.a.w. shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan sering melihat ke arah langit menunggu perintah Allah SWT. (mengharapkan kiblat diarahkan ke Ka'bah atau Masjidil Haram), sehingga turunlah ayat tersebut diatas (QS, Al-Baqarah : 144) yang menuinjukkan qiblat ke Masjil Haram. 
Sebagian kaum muslimin berkata : "Inginlah kami ketahui tentang orang-orang yang telah meninggal sebelum pemindahan qiblat (dari Baitul Maqdis ke Ka'bah), dan bagaiman pula tentang shalat kami sebelum ini, ketika kami menghadap Baitul Maqdis?.  Maka turunlah ayat lainnya (QS, Al-Baqarah : 143), yang menegaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman mereka yang beribadah menurut ketentuan pada waktu itu. 
Orang-orang yang berfikiran kerdil di masa itu berkata : "Apa pula yang memalingkan mereka (Kaum Muslimin) dari Qiblat yang mereka hadapi selama ini. (dari Baitul Maqdis ke Ka'bah)". Maka turunlah ayat lainnya lagi (QS. Albaqarah : 142) sebagai penegasan hawa Allah-lah yang menetapkan arah Qiblat itu. 
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Ismail bin Abi Khalid, dari Abi Ishaq yang bersumber dari al-Bara.

Serta hadits Nabi Muhammad s.a.w,  juga menegaskan dengan sabdanya : "Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudhu, kemudian menghadap kiblat (Ka'bah) lalu takbir" (HR. Bukahari dan Muslim). 
Atas dasar Al-Qur'an dan hadits diatas para ulama, menurut Asy Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke kiblat hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat.

Jika harus persis menghadap kiblat bagaimana hukumnya bila meleset sedikit atau dalam perkiraan saja? (tidak tepat). Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang memberatkan dan sulit. Namun demikian perlu memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran.

Di kalangan para ulama terdapat perbedaan ketika mementukan pusat arah yang dihadapi itu. Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri, atau cukup menghadap ke-arahnya saja. Pendapat beberapa Imam Mahzab :  Iman Asy Asyafi'i orang yang melakukan shalat, dapat melihat Ka'bah wajib mengarah pada zat Ka'bah. Sedangkan orang yang jauh dari Ka'bah cukup dengan memperkirakan saja. Akan tetapi ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i membolehkan orang yang shalat hanya menghadap ke arah Ka'bah, bukan pada zatnya. Riwayat itu diterima dari Al-Muzanni, murid Imam Syafi'i.
Dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i tersebut pendapat pertama ternyata lebih populer.
Lalu bagaimana dengan Imam-Imam yang lain? Para Imam Mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hanbali, mewajibkan orang yang jauh dari Ka'bah, untuk menghadap arah Ka'bah saja, tidak mesti harus pas dengan zat Ka'bah itu sendiri. Alasan adalah tak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka'bah untuk mengadap zat Ka'bah itu sendiri.
Dan dikatakan pula jika seseorang shalat pada malam yang gelap gulita, menurut para Imam boleh menghadap arah yang diyakininya. Shalatnya dinyatakan sah asalkan dia telah melaksanakan shalat tersebut. Akan tetapi jika telah selesai shalat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapi ketika shalat yang gelap gulita itu salah, maka shalatnya wajib diulang jika masih ada waktu.

Itulah pendapat Imam Syafi'i, Ulama Hanafiyah, ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi As-San'ani (ahli fiqih dan hadits) serta Asy Syaukani memandang shalat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulangi karena sudah sah.

Dari pertanyaan pada judul diatas "Ketika Shalat Kiblatnya Meleset Sedikit, Sahkah Shalatnya?" Maka dengan keterangan di atas sudah jelas bahwa, meleset sedidikit arah kiblatnya, sah shalatnya. Kecuali orang yang shalat dapat melihat Ka'bah langsung, maka harus pas mengarah kepada zat Ka'bah itu sendiri. 

Demikian uraian singkat ini, semoga bermanfaat dan kita tidak ragu-ragu lagi bagaimana melakukan shalat dengan arah kiblat yang benar. Wallahu 'alam Bishawwaab. 

0 Response to "Ketika Shalat Kiblatnya Meleset Sedikit, Sahkah Shalatnya?."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel