Bagaimana Hukumnya Berjabat Tangan (Bersalaman) setelah Shalat Fardhu Berjama'ah?


Rasiyambemen.com Kajian Khazanah Islam (kategori posting Shalat).

Pembaca budiman, Rahmat serta Bimbingan-Nya semoga selalu tercurah dan senantiasa mengiringi kita dalam seluruh aktivitas di dunia ini untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Ridho-Nya di Akhirat kelak. Aaamin...

Banyaknya pertanyaan bagaimana hukumnya berjabat tangan (bersalaman) setelah shalat berjama'ah, penulis akan memberikan jawaban sebagai dasar pengambilan sikap dan keputusan untuk mengamalkan sesuai dengan yang telah dicontohkan Rasulullah saw. ketika beliau selesai shalat berjamaah. Tentu untuk menjawabnya akan diuraikan dengan dalil yang mendasarinya amalan tersebut. 

Pada dasarnya berjabat tangan (bersalaman) setelah shalat wajib berjama'ah, baik di masjid ataupun di rumah, tidak disyariatkan (ghairu masyru'), hal ini tidak akan kita temukan dalam Al-Qur'an atau pun as-Sunnah, dan Ijma' baik dalam bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunnah). Sedangkan Wajib dan Sunnah adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang menyangka baik sebuah perbuatan.  

Di sisi lain, berjabatan tangan (bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak memang dianjurkan untuk dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika kapan saja, misalnya, pagi hari, sore, dan malam, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musyafir, bertemu dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapanpun, termasuk juga setelah shalat berjama'ah atau setelah shalat sunnah, sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakan. 

Namun timbul masalah, ketika bersalaman setelah shalat menjelma menjadi adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang tidak afdhal, tidak nyaman, dan mereka baru tenteram dihatinya ketika bersalaman itu mereka lakukan. Seakan-akan bersalaman adalah rangkaian dari ibadah yang terkait dengan shalat itu sendiri. 

Fenomena ini terjadi pada sebagian masyarakat Islam. Dan yang menjadi tidak benar, manakala ada manusia yang tidak mengikuti tradisi ini, serta merta kepada orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang jelek. Pada kasus ini, bersalaman setelah shalat menjadi wujud baru dari ritual Islam yang tidak ada dasar dalilnya. 
Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasusistus dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak juga disalahkan secara mutlak pula. Sebab memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam, langsung sibuk memutar badannya kekanan dan kekiri dan kebelakan untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat lainnya.  Ada pula yang salaman karena memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, ketika selesai shalat berjamaah. Ada pula yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak untuk bersalaman , (dia bukan inisiatornya), dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati saudarnya. Nah ini semua tentu tidak bisa dinilai secara sama.   

Dalil-Dalil Umum Bersalaman :

Dari Bara bin Azib r.a. bahwa Rasulullah saw, bersabda 
مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا
"Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka berslaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah" (HR. Abu Daud No. 5212, At-Tirmidzi no. 2727, Ibnu Majah no.3703, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam berbagai kitabnya, Al-Amisykah Al-Mashabih no. 4679 Shahihul Jami' no 5777. 

Dari Anas bin Malik r.a katanya : 

قلنا: يا رسول الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال ((لا)). قلنا: أيعانق بعضنا بعضا؟ قال لا. ولكن تصافحوا
Kami bertanya : "Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain? Beliau menjawab: "Tidaka" kami bertanya lagi "Apakah saling berpelukan"? Beliau menjawab : "Tidak", tetapi hendaknya saling bersalaman" (HR. Ibnu Majah no.3702, Abu Ya'la No. 4287). 

Satu lagi Hadits dari Anas :
 كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا
"Adalah sahabat Nabi saw. jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari bepergian jauh, mereka saling berpelukan". (HR. Ath-Thabarani, Al-Mu'jam al Awsath, no.97. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih At-Targhib wat Tarhib no. 279. Imam Al Haitsami mengatakan rijalnya (para perawi) rijal hadits shahih). 

Berkata Qataadah r.a. 
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.   
"Aku berkata kepada Anas : "Apakah bersalaman dilakukan para sahabat Nabi saw.?. "Dia menjawab "YA"  (HR. Bukhari no.5908)

Dan masih banyak lagi yang menjelaskan dalil-dalil bersalaman secara umum di hadits-hadits lain, namun penulis hanya mengambil 4 contoh saja, sebagai referensi bahwa salaman itu memang dianjurkan oleh Rasulullah saw.  

Berbagai riwayat dan atsar (contoh) di atas menunjukkan bolehnya bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Dan hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang mengatakan sunnah dan membolehkan bersalaman setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat di atas. 
Karena bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan saja. Sedangkan, dalil 'aam (umum) dan mutlak (tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khas (spesifik) (tidak terikat) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah dalam bersalam ini dalil-dalil bersifat 'aam (umum) di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, termasuk setelah shalat berjama'ah kerena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.
Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membid'ahkan, mereka menilai bahwa yang terjadi adalah bersalaman setelah shalat berjamaah atau shalat  sunnah  sendiri, menjadi kebiasaan dimasyarakat yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah mahdhah. Dan fakta inilah yang sesungguhny terjadi, oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk mengkukuhkan, jika tidak ada dalilnya, maka itu tertolak (bid'ah). 
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, masalah ini tidak dapat digebyah uyah atau dianggap sama semua, karena sifatnya yang sangat personal dan khusus-istis. Oleh karena itu mari lihat rincian sebagai berikut :
  1. Jika melakukan karena si pelaku menganggap bersalaman adalah bagian dari rangkaian shalat, maka tidak sya' lagi adalah bid'ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam rangkaian ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau ini hanya dilakukan sekali.
  2. Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari rangkaian shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri sehingga memiliki keuatamaan tersendiri pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun dapat berpotensi menjadi bid'ah dalam ibadah. 
  3. Jika melakukannya dalam kondisi dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin Azib : "Tidaklah dua orang muslim bertmu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah"
  4. Jika melakukannya bukan karena inisiatifnya tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan mudharat demi menghindar yang lebih besar dan berkepanjangan. Sikap ini merupakan 'ibrah (contoh) dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal r.a. yang membid'ahkan qunut subuh tetapi ketika beliau shalat dengan imam yang berqunut maka beliau ikut berqunut demi menjaga kesatuan hati kesamaan kata, dan menghilangkan permusuhan.  
Rincian inilah yang menjadi pegangan dalam memandang permasalahan tersebut. Wallahu 'alam. 
Kesimpulannya : pendapat dari keduanya dapat dikatakan benar karena sumua mendasarkan kepada dalil keumumam di atas, berkait dengan berjabat tangan atau bersalaman tersebut. Walapun kelompok yang menolak atau mengatakan bid'ah, tetapi masih juga mengikut dalil keumuman tentang salaman tersebut, hanya mereka memberikan 4 syarat seperti tertulis diatas.  

Demikian uraian Bagaimana Hukum Berjabat Tangan (Bersalaman) Setelah Shalat berjama'ah.  Semoga bermanfaat. Dan marilah kita saling menghormati perbedaan selama bukan perbedaan yang memang sudah pasti hukumnya boleh atau tidak secara dalil yang mutlak.

0 Response to "Bagaimana Hukumnya Berjabat Tangan (Bersalaman) setelah Shalat Fardhu Berjama'ah?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel