Hukum Sutrah Atau Pembatas Dalam Shalat.


Rasiyambumen.com Kajian Khazanah Islam (kategori posting Shalat)
 
Pembaca budiman, Bimbingan dan Ridha-Nya semoga selalu tercurah serta mengiringi kita dalam segala aktivitas di dunia ini, semoga mendapat kebahagiaan dan dan menyandarkan Rahmat-Nya di Akhirat kelak. Aamiin...
 
Ada sunnah yang diajarkan dalam syari'at ketika kita shalat yaitu Sutrah/pembata. Sunnah ini sudah hampir luntur di tengah kaum muslimin sebab kurang begitu perhatian, baik dari para ustadz atau guru agama yang menjadi sumber ajaran islam tersebut.   

Kata Sutrah secara bahasa, artinya segala apapun yang dapat menghalangi. (Lihat kamus Al-Muhith). Jadi sutrah adalah penghalang bagi orang yang shalat. Dalam terminologi fiqih, sutrah artinya segala sesuatu yang berdiri di depan orang yang sedang shalat, dapat berupa tongkat, atau tanah yang didugundukkan atau semacamnya untuk mencehah orang lewat di depannya. (Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 3/176-177). 
 
Menghadap sutrah ketika shalat, adalah hal yang disyariatkan dalam agama. Banyak hadits yang mendasari dan menerangkan hal ini, diantaranya : hadits Abu Sa'id Al Khudri, bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : 
إذا صلَّى أحدُكم فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ ولْيدنُ منها  "Jika seseorang mengerjakan shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah" (HR. Abu Daud 698, dishohihkan Al-Albani dalam Shohih Abi Daud).

Ada juga hadits dari Sabrah bin Ma'bad, Al-Juhari radiyalhu'anhu Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersbda : 
سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
"Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seorang diantara kalian shalat,hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah" (HR. Ahmad 15042, dalam Majmu' Az Zawaid Al Haitsani berkta semua perawi ahmad dalam hadits ini adalah perawi shahihan).
 
Rasulullah juga menegaskan dalam sabdanya : 
لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
Janganlah kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika enggan dilarang, maka perangilahkarena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)". (HR. Ibnu Khuzaimah no. 800, 820, 841).   
 
Hukum Dan Kesimpulan Menghadap Sutrah Ketika Shalat. 
Para ulama berbeda pndapat menganai hukum menghadap sutrah ketika shalat terbagi dalam 4 (empat) pendapat. 
1. Hukumnya Wajib. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Asy Syaukanidan pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. 
2. Hukumnya Sunnah Secara Mutlak. Ini merupakan mendapat Syafi'iyyah dan juga salah satu pendapat Imam Malik. 
3. Hukumnya Sunnah Jika Dikahawatirkan Ada Yang Lewat. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan Hanafiyyah. 
4. Sunnah bagi Seseorang yang Shalat Munfarid. Ini merupakan Hanabilah (Mausu'ah Fiqhiyyah, Kuwaitiyyah, 24/178 Tamaamul Minnah no.300).
 
Jika melihat beberapa hadits yang telah lalu tentang sutrah, disana digunakan lafadz perintah  فلْيُصلِّ إلى سُترةٍ (shalatlah menghadap sutrah) dan juga lafadz فَلْيَسْتَتِرْ  (bersutrahlah), yang pada awalnya menghasilkan hkum wajib kecuali terdapat qarinah (tanda-tanda) yang memalingkannya dari hukum wajib. Alasan inilah yang dipegang para ulama yang mewajibkan sutrah itu wajib. 

Namun tidak wajibnya sutrah adalah pendapat jumhur ulama, bahkan sebagian ulama menukil ijma akan hal ini.  Ibnu Qadamah dalam kitab Al Mughni mengatakan : 
وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا  "Dan kami tidak mengetahu adanya khilaf tentang hukum mustahab (sunnah) mengenai penggunaan sutrah dalam shalat" (Al Mughni 27/174). 
Terkait dengan validasi ijma Ibnu Qadamah dan ulama lain yang mengklaim Ijma' sunnahnya sutrah, perlu dikaji lebih jauh, namun bukan dalam tulisan ini
 
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syahrul Mumthi (3/277) menyebutkan bebrapa qarimah yang menunjukkan tidak wajibnya shalat menghadap sutrah. 
Hadits Abu Sa'id Al Khudri radiyallahu'anhu Nabi Shalalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : 
    اذا صلَّى أحدُكُم إلى شيءٍ يستُرُهُ من الناسِ،فأرادَ أحَدٌ أنْ يَجتازَ بين يديْهِ، فليدفَعْهُ، فإنْ أبى فَليُقاتِلهُ، فإنما هو شيطانٌ
"Jika seseorang kalian shalat menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah, terhadap orang lain, kemudian ada seorang yang mencoba lewat diantara iadengan sutrah, maka cegahlah, jika ia enggan dicegah, maka peragilah, karena sesungguhnya ia adalah setan" (HR. Al-Bukhari no.509).
 
Perkataan Nabi "jika salah seorang dan kalian shalat, menghadap sesuatu yang ia jadikan sutrah, menunjukkan orang yang shalat ketika itu. Terkadang shalat menghadap sesuatu dan terkadang tidak menghadap pada apa pun. Karena konteks kalimat seperti ini tidak menunjukkan bahwa semua orang dimasa itu selalu shalat menghadap sutrah. Bahkan menunjukkan sebagian orang menghadap sutrah dan sebagian lagi tidak menghadap sutrah. 
 
Keterangan di atas dikutakan dengan hadits Ibnu Abbas radiyallahu'anhu di bawah ini : 
  رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم يُصَلِّي بمِنًى إلى غيرِ جِدارٍ   "Rasulullah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah shalat di Mina tanpa tanpa menghadap ke tombak (yang dijadikan sutrah)" (HR. Al- Bukhari 76, 493, 861).
 Hadits yang lain masih dari Ibnu Abas radiyallahu'anhuma, sebagai berikut :
   أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلَّى في فضاءٍ ليسَ بينَ يدَيهِ شيءٌ  "Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah shalat di lapangan terbuka sedangkan dihadapan beliau tidak terdapat apa-apa" (HR. Ahmad 3/297 Al-Baihaqi dalam Al Kubra 2/273). 
 
Hadits ini HR.Ahamad 3/297, pernah diperselisihkan keshahihannya sebab di dalamnya terdapat perawi Al-Hajaj bin Arthah yang statusnya "Saduq katsirul katha wat tadits" (saduk banyak salah dan banyak melakukan penipuan) dan di dalam sanadnya Al Hajjaj pun melakukan "an'anah". (menyampaikan hadits tapi dia tidak mendengar langsun). 
 
Namun hadits ini memiliki jalan lain dalam Musnad Ahmad 5/11, 104) dari Hammad bin Khalid ia berkata : Ibnu Abi Dzibin menuturkan kepadaku dari Syubah, dari Ibnu Abbas ia berkata : 
مَرَرْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أَتَانٍ ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ فِي فَضَاءٍ مِنَ الْأَرْضِ ، فَنَزَلْنَا وَدَخَلْنَا مَعَهُ ، فَمَا قَالَ لَنَا فِي ذَلِكَ شَيْئًا
"Aku pernah menunggangi keledai bersama Al-Fadhi bin Abbas dan melewati Rasulullah SAW yang sedang shalat mengimami orang-orang di lapangan terbuka. Lalu kami turun dan masuk ke dalam shaf, dan beliau ttidak apa-apa kepada kami tentang itu" 
 
Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Syu'bah, Ibnu Hajar berkata : "ia syaduk hafalannya;"  Hadits ini juga memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunnya (718) dari Abdul Malik bin Syu'aib bin Al-Laith ia berkata : 'Ayahu menuturkan kepadaku dari kakeknya dari Yahya bin Ayyub dari Muhammad bin Umar, dari Abbas bin Ubaidillah dari Al-Fadhl bin Abbas beliau berkata :
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ، «فَصَلَّى فِي صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ وَحِمَارَةٌ لَنَا، وَكَلْبَةٌ تَعْبَثَانِ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا بَالَى ذَلِكَ
"Rasulullah SAW pernah datang kepada kami sedangkan kami sedang berada di gurun. Bersama beliau ada Abbas, lalu Beliau shalat di padang pasir tanpa menghadap sutrah. Di hadapan Beliau ada keledai betina dan anjing betina sedang bermain-main, namum Beliau tidak menghiraukannya". 
 
Waallahu'alam keterangan dua jalan di atas sudah cukup mengangkat hadits Ibnu Abbas tersebutke derajat hasan ghairihi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Al Arnuth dalam ta'liknya terhadap musnad Ahmad (3/431) juga bahkan Syaikh Ahmad Sakir dalam ta'liknya terhadap musnad Ahmad (365) mengatakan hadits ini shaheh. Sehingga ia dapat menjadi dalil yang kuat untuk mengalihkan isyarat wajibnya sutrah kepada hukum sunnah. 

Kesimpulan: 
Hukum sutrah adalah sunnah ketika shalat, berlaku kepada kepada imam dan orang yang shalat sendiri (munfarid) karena para sahabat Nabi SAW mereka shalat bermakmum kepeda Nabi SAW dan tidak ada seorang-pun yang membuat sutrah. (Syahrul Mumthi 3/278)   

Para Fuqaha bersepakat bahwa sutrah imam itu sudah mencukupi untuk makmum, baik posisi makmum berada disampingnya, maupun di belakan imam. Dan mereka juga bersepakat bahwa makmum tidak disunnahkan membuat sutrah. (Mausu'ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/184.  Wallahu'alam Bishawab.
Contoh ini jika sholat di tanah lapang.

Demikian uraian singkat "Hukum Sutrah Atau Pembatas Dalam Shalat. Semoga menjadi khazanah perbendaharaan ilmu khususnya dalam beribadah Shalat. Aamiin.

0 Response to "Hukum Sutrah Atau Pembatas Dalam Shalat. "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel