Kisah Ahnaf bin Qais Yang Mencoba Memeriksa Dirinya Dengan Al-Qur'an

Ahnaf bin Qais Pemimpin Bani Tamim. 

Rasiyambumen.com Kajian Khazanah Islam (kategori posting Kisah)

Pembaca budiman, Bimbingan dan Ridha-Nya semoga selalu tercurah serta mengiringi kita dalam segala aktivitas di dunia ini, untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Rahmat-Nya di Akhirat kelak. Aamiin...

Ahnaf bin Qais adalah seorang yang hidup di masa Nabi Muhammad SWA, namun dia tidak dapat bertemu dengan beliau (Muhammad SAW) hingga Rasulullah SWA wafat, dia tak dapat berjumpa dengannya. Sebagaimana Uwais Al-Qarni yang sama-sama hidup pada masa Rasulullah SAW, namun juga tak dapat berjumpa dengan beliau. Sahabat yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak dapat berjumpa dengan Nabi, disebut (al-Mukhodhrom)

Walaupun keduanya tidak pernah bertemu Rasulullah SAW, tetapi Nabi sangat mencintai kepada keduanya sebab kedua orang tersebut memiliki sifat yang tawadhu' serta sangat terkenal kemurahan hatinya. 

Artikel kali ini akan menceritakan seorang Ahnaf bin Qais yang memeluk agama Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, (aslama fi hayaati nabiyyi), walaupun beliau belum pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang juga dialami oleh Uwais Al-Qarni yang sama-sama tidak dapat menjumpai Nabi SAW.  

Ahnaf bin Qais adalah seorang pemimpin Kabilah Tamim yang lahir di Bashrah.  
Berdasarkan kisah keduanya yang memiliki keistimewaan tersendiri dihadapan Nabi SAW,  maka Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Zuhd memasukkan tentang kisah "Ahnaf bin Qais" yang mencoba memeriksa dirinya dengan al-Qur'an. Berikut Riwayatnya : 

Abdullah menceritakan kepada kami, Ayahku bercerita, Harun bin Ma'ruf bercerita, Dlamrah bercerita dari Ibnu Syaudzab, dia berkata : "al-Ahnaf bin Qais berkata : "Aku periksa diriku berdasarkan Al-Qur'an, kemudian tidak kudapati sesuatu dalam diriku yang lebih serupa denganku (selain) ayat ini : 
"Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-adukan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS, At-Taubah/9 : 102). 

Setelah Ahnaf bin Qais mengoreksi dirinya dengan Al-Qur'an, beliau sadar bahwa dirinya mengakui sebagaima mereka yang diceritakan Allah di dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 102 tersebut di atas. 

Hadits di atas mengambil riwayat dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Abbas, Ibnu Mas'ud, Utsman bin Affan, dan lain sebagainya. Murid-muridnya adalah Amr bin Jawan, Hasan Al-Bashri, Urwah bin Zubair, (Imam Az-Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubalaa. Beirut Muassasah Al-Risalah 2001, juz 4 hal. 87-88).

Dengan keistemewaan Asnaf bin Qais, Rasulullah SAW, pun pernah mendoakannya kepada dia. Hal ini dapat diketahui ketika Ahnaf bin Qais bertemu dengan seseorang dari Bani Laits yang pernah dikirim oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan Islam pada kaumnya. Orang tersebut bercerita bahwa Rasulullah SAW, pernah bedoa "Allahummaghfir lil-Ahnaf" (Ya Allah ampunilah Ahnaf). Imam al-Dzahabi, Siyar 'Alam al-Nubalaa Zus 4 hal. 88-89). 

Dari kisah di atas apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Ahnaf bin Qais, seharusnya dilakukan juga oleh kita semua.  Apakah ciri-ciri orang bertaqwa yang diceritakan Al-Qur'an, sudah sesuai dengan kita?. Jika sudah, apakah ujub dan takabur tidak merasuki kita?. Apakah ciri-ciri kemunafikan juga ada dalam diri kita?. Jika ada apa yang sudah kita lakukan untuk memperbaikinya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah contoh kecil. Sebab masih banyak hal yang perlu kita periksa dengan Al-Qur'an. Kita perlu melakukan kritik (self-criticism) yang positif, yaitu dengan cara mendiagnosa kekurangan dan kelemahan kita, agar dapat menjadi lebih baik, dan jikapun sudah ada hal yang baik di diri kita, diagnosa menjadi penting untuk menghindarkannya dari rasa sombong (ujub dan takabur). 

Gambaran sederhananya seperti (dalam bentuk contoh-contoh pemeriksaan misalnya dari keburukan). Ketika kita membaca ayat al-qur'an tentang orang-orang munafik, hati kita berkata kok mirip saya ya, ketika kita membaca orang-orang bertaqwa, hati kita berkata kok tidak mirip saya ya, dan ketika membaca ayat terkait orang-orang yang selalu bersyukur, hati kita berujar kok tidak mirip saya ya, dan seterusnya. 

Sayyidina Ahnaf bin Qais melakukan proses itu, dan ia menemukan dirinya sangat mirip dengan yang diungkapkan dalam surat At-Taubah ayat 102 di atas, bahwa ia termasuk orang yang mengakui dosanya, tetapi masih mencampur adukan pekerjaan baik, dan pekerjaan lain yang buruk.   Di satu waktu ia melakukan perbuatan baik, di waktu lain ia melakukan perbuatan buruk.   Sebagai seorang hamba yang telah mengakui dosa-dosanya, dan ia merasa malu karena masih sering mengulangi perbuatannya. 

Sebab itu ia selalu berharap tobatnya diterima. Walau demikian, ia memasrahkan semuanya kepada Allah SWT. serta berdo'a : 
"Ya Allah jika Engkau menyiksaku maka aku (memang) pantas untuk itu, dan jika Engkau mengam-puniku maka Engkau (memang) berhak untuk itu". (Imam Ahmad bin Hanbal al-Zuhd, 1992 hal.287).

Sayyidina Ahnaf bin Qais menyadari, jika kelak Allah menghukumnya, itu karena ia pantas untuk itu, dan tak perlu merasa diperlakukan tidak adil. Pun juga sebaliknya jika Allah mengampuninya, itu karena hanya Allah-lah yang mempunyai hak untuk itu, dan Dia adalah Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat. 

Dengan kata lain, kita harus luangkan waktu untuk bercermin dengan Al-Qur'an. Salah satunya dengan melakukan muraaqabah an-nafs (coreksi diri) dan muthaala'ah an-nafs (membaca diri) ketika membacanya. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan dan kejujuran diri. Kita harus terbuka dan jujur untuk mengakui kelemahan dan kekurangan kita.

Sebab tanpa itu, baik disadari atau tidak, kita akan selalu mengingkari apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita. Al-hasil ayat-ayat-ayat al-qur'an yang kita baca, meski kita tahu kebaikan isinya, tidak akan teraktualisasi dalam tindakan dan perilaku kita. Sebagai contoh, setiap khutbah Jum'at berapa banyak orang yang mendengar wasiat taqwa "itttaqillah" (bertaqwalah kepada Allah) tetapi sangat sedikit yang benar-benar merasa menjiwainya.

Memahami "kebaikan" sering kali tidak terwujud dalam pengamalannya. Begitu juga memahami "keburukan" sering kali tidak mewujud dalam penghindarannya. Manusia meski memahami keduanya, terkadang tidak berhasil merealisasikan dalam tindakan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan saat melakukan pemeriksaan diri. Misalnya, ketika Al-Qur'an berbicara tentang kesabaran, kita periksa diri kita, apakah kita sudah berusaha menghadirkan kesabaran itu apa belum. Jika belum kita harus memulainya dari sekarang, dan seterusnya. Lalu pertanyaannya, pernahkan kita melakukan?.  Wallahu'alam.

Demikian uraian singkat "Kisah Ahnaf bin Qais Yang Mencoba Memeriksa Diri Dengan Al-Qur'an". Semoga bermanfaat dan dapat sama-sama kita renungkan untuk jadi acuan terhadap diri kita. Aamiin...  

0 Response to "Kisah Ahnaf bin Qais Yang Mencoba Memeriksa Dirinya Dengan Al-Qur'an"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel