HUBUNGAN SUNNAH DENGAN AL-QURA'N



Al-Qur'an Karim merupakan tiang dan dasar syariat, sedangkan Sunnah yang merinci dan menguraikannya.   Oleh karena itu, ia merupakan dasar syariat Islam kedua. Kedudukan di bawah Al-Qur'an karena ia merinci sedang Al-Qur'an yang dirinci. Disamping Alquran datang seluruhnya secara mutawatir yang pasti yakin tak dapat kita ragukan kepastiannya, sedang sunnah sebagian besar datang tidak secara mutawatir dan yakin. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Mu'adz dan perbuatan para Khulafa ar-Rasyidin dimana mereka terlebih dahulu merujuk kepada Al-Qur'an sebelum kepada Sunnah. 

Mereka merujuk  kepada Al-Qur'an ini hanya dalam hukum-hukum yang jelas dholalahya dalam Al-Quran, seperti, contoh : mewariskannya, sang suami akan harta istri, dan sang istri akan harta suami, tentang iddah perempuan di bawah umur yang di thalaq, dan yang telah putus haid, dan tentang iddah seorang perempuan yang tidak dalam keadaan hamil yang ditinggal mati suaminya, serta hukum-hukum lainnya .  Sedang hukum yang tidak jelas dholalahnya dalam Al Quran, maka dikembalikan kepada Sunnah sebagi penjelasan ;  seperti tentang mewariskannya kakek dan Ashabah, iddah sang perempuan yang sedang hamil yang ditinggal mati suaminya, dan lain-lain.

Bagi yang pernah meneliti kitab-kitab hadits, maka akan mendapatkan hadis terbagi menjadi tiga jenis :
  1. Yang mendukung dan memperkuat apa yang disebutkan oleh Al-Quran tanpa menambahkan dengan rincian atau penjelasan. Seperti hadits-hadits tentang berbakti kepada kedua orang tua (birrul-walidain) dan ancaman bagi yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan hadits-hadits tentang silarutahim, menghormati tetangga, dan yang sejenisnya. Hadits-hadits tentang targhib (rangsangan dan ancaman) nasihat-nasihat dan kisah-kisah , masuk dalam jenis ini.
  2.  Yang menjelaskan Al Quran, baik dengan cara merinci yang global atau mentakhisis(menjadikan khusus) yang umumnya.      Contoh ; merinci yang global ialah hadits yang menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat dan waktunya serta kaifiyatnya di mana Al Quran tidak memerincikannya ia hanya menyuruhnya seperti :
  وَأَقِيمُوا۟ الصَّلَوٰةَ
                                       "Dan dirikanlah olehmu shalat "  (QS  Albaqarah  : 43)
Juga hadits yang merinci nisab zakat, jenis-jenis harta yang wajib dizakati dan masa pembayannya sebagai penjelasan misalnya ayat di bawah ini :  

                                                وَءَاتُوا۟ الزَّكَوٰةَ


                                               "Dan bayarlah Zakat"  ( QS Al Baqarrah : 43 )
Dan hadits-hadits tentang shaum, haji, jual-beli dan sebagainya.
Adapun contoh hadits mentakhsis ayat yang menunjukkan umum hadits yang menyebutkan bahwa orang yang membunuh tidak mewaris harta yang dibunuh, sebagai pentakhsis (pengecualian) bagi keumuman ayat tentang ahli waris.   Sedangkan contoh hadits yang mentaqyid (mengikat) kemutlakan maksud ayat adalah hadits muttafaq'alaih yang mentaqyid (mengikat dan membatasi) jumlah harta untuk wasiat dengan maksimal hanya sepertiga dari seluruh harta yang dimiliki terhadap kemutlakan ayat tentang wasiat ini, yang berbunyi sebagai berikut :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوٰلِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ    حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ      
" Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantaranmu kedatangan (tanda-tana) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, wasiat intuk ibu-bapa dan karib kerabatmya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang beritaqwa"  ( GS Albaqarrah : 180 )
  

3. Hadits yang menunjukkan kepada hukum baru, yang tidak desebutkan oleh Al Quran. Atau hukum yang tidak dinafikan, dan tidak ditetapkan olehnya.   Seperti hadits yang menetapkan bahwa perempuan yang haid wajib mengqodho shaum, dan tidak wajib mengqadha sholat.  Juga batas yang mengharamkan dimadunya perempuan dengan bibi (saudara perempuan ayah maupun ibu)nya. Hadits tentang mewarisnya sang kakek dan tentang ashabah, hukumnya syuf'ah, diharamkannya menikahi perempuan karena sepesusuan, seperti diharamkannya karena senasab, hadits yang mengharamkan binatang buas yang bertaring dan yang berparuh panjang dari jenis burung.  Juga hadits yang mengharamkan menggunakan bejana (wadah) dari emas dan perak baik bagi laki-laki maupun perempuan, haramnya perhiasan emas dan sutera bagi laki-laki, haramnya mendirikan masjid di atas kuburan,terlaknatnya perempuan memakai susuk (supaya menarik) dan orang yang memasangkannya. Juga hadits yang melaknat perempuan yang memakai rambut cemara (sanggul), dan juga hadits-hadits lainnya dalam masalah ibadah dan muamalah.

Hadits jenis ini tidak kontradiksi dengan  Al Quran sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim. Ia tidak  lain membawa  hukum (syariat)  baru  (tambahan)  dari  Nabi saw. yang  wajib  ditaati  dan bukan berarti  mendahulukan di di atas  Kitabbullah, tetapi  justru  suatu  kepatuhan  terhadap  perintah  Allah agar kita mentaati Rasul-Nya, yang sekiranya dalam jenis-jenis  hadits  ini  beliau  tidak kita taati, maka berarti juga tidak mentaati beliau.   Juga sekiranya mentaati beliau tidak  wajib  kecuali dalam  hal yang cocok dengan Al Quran saja, sedang  dalam hal  (hukum)  tambahan  darinya tak wajib kita taati, berarti tak ada ketaatan  khusus  kepada beliau hal ini  adalah salah,  sebab Allah SWT telah berfirman Sebagai berikut:

مَّن    يُطِعِ    الرَّسُولَ    فَقَدْ    أَطَاعَ   اللَّهَ      
"Barang siapa yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah" (QS An-Nisa : 80)  

Sebagian ulama ada yang memandang bahwa hukum-hukum yang disebutkan oleh hadits ini tidak berdiri sendiri sebagai hukum yang dibawa oleh sunnah secara terpisah dari Al Quran tapi ia ada kaitan erat dengan Al Quran, seperti ia dikiyas dengan apa yang dinashkan (sebutkan) oleh Al-Quran atau ia masuk ke dalam kaidah-kaidah pokoknya, dan sebagainya.

Diharamkannya memadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya atau ibunya oleh hadits misalnya, tidak lain karena dikiyas kepada haramnya memadu antara dua perempuan kakak beradik yang disebut oleh Al Quran.   Mewarisnya  sang nenek jika si mayit tak punya ibu karena dikiyas kepada mewarisnya sang ibu akan harta mayit (si anak)

Juga diharamkannya binatang buas oleh hadits karena disebut dalam firman Allah sebagai berikut "
" Dan ia mengharamkan bagi mereka segala yang keji"  ( QS Al A'raf : 157)

Dan diharamkan wadah emas dan perak karena termasuk ke dalam gaya hidup boros dan bermegah-megahan yang dicela Al Quran .... begitu seterusnya.
Yang terpenting, seluruh ulama sepakat bahwa hadits ( sunnah ) punya hak untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, terlepas dari apakah namanya ia datang membawa syari'at baru atau bukan.  

Demikian  sekelumit  penjelasan    Hubungan Sunnah  Dengan  Al-Qur'an  mudah-mudahan  dapat  kita pahami dan tentunya yang terbaik adalah yang dapat mengamalkannya insya Allah.

Pembaca silahkan baca artikel yang satu ini : SHOLAT
                                                                                   

0 Response to "HUBUNGAN SUNNAH DENGAN AL-QURA'N"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel