Keistimewaan Wali Seorang Ayah, Dari Wali-Wali Yang Lain. (Fiqih nikah)

Ilustrasi seorang ayah sedang bermusyawarah kepada anaknya yang sudah (canda), untuk dinikahkan.

Rasiyambumen.com Kajian Khazanah Islam (kategori posting Fiqih Nikah)

Pembaca budiman, Rahmat serta Bimbingan-Nya semoga selalu tercurah dan menyertai kita dalam segala aktivitas di dunia ini untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Ridho-Nya di Akhirat kelak. Aamiin...

Keistimewaan Wali seorang ayah, dari wali-wali yang lain, diantaranya adalah dapat mempunyai hak mengawinkan anaknya yang bikir/perawan dengan tidak izin si anak terlebih dahulu, dengan orang yang dipandang baik.  Terkecuali anak yang "saib" (bukan perawan lagi) tidak dikawinkan melainkan dengan izinnya lebih dahulu. Wali-wali yang lain tidak berhak mengawinkan mempelai wanita, melainkan sesudah mendapat izin dari mempelai itu sendiri. 
Sabda Nabi saw. : "Telah berkata Rasulullah saw. perempuan yang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan anak perawan dikawinkan oleh Ayahnya" (HR. Daruquthni)

"Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw. telah nikah dengan Aisyah sewaktu ia baru berumur 6 tahun dan dicampuri, serta tinggal bersama Rasulullah saw. pada ia berumur 9 tahun" (Sepakat Hadits).

"Dari Ibnu Abbas, katanya sesungguhnya seorang perawan telah mengadukan halnya kepada Rasulullah saw. bahwa ia teleh dikawinkan oleh ayahnya dan dia tidak menyukainya.  Maka Nabi saw. memberi kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan atau untuk membatalkan perkawaninan itu". (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Daruquthni).  Rasulullah memberikan kesempatan memilih kepada perawan itu, adalah tanda bahwa perkawinan yang dilakukan ayahnya itu sah, sebab kalau perkawinannya itu tidak sah tentu Nabi  menjelaskan bahwa perkawinan itu tidak sah, atau beliau katakan kawinlah dengan laki-laki lain.

Ulama yang membolehkan wali Ayah dan Kakek menikahkan dengan tidak izin ini, mendasarkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Tidak ada permusuhan antara anak dengan ayah.
  2. Hendaklah dikawinkan dengan orang yang setara (sekufu).
  3. Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding)
  4. Tidak dikawinkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar. 
  5. Tidak dikawinkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak, dalam pergaulan dengan laki-laki itu, seperti orang buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapat kegembiraan dalam pergaulannya, Qaidah. "Usaha pemimpin terhadap yang dipimpinnya didasarkan atas kemaslahatan.
Baca yang ini :

Sebagian ulama berpendapat tidak ada bagi si Ayah menikahkan anak perawannya dengan tidak ada izin lebih dahulu dari anaknya itu.

Sabda Rasulullah saw. : Dari Abu Hurairah katanya, telah berkata Rasulullah saw. "Janganlah dinikahkan perempuan janda sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum diminta izinnya. Sahabat-sahabat lalu bertanya : :Bagaimana cara izin perawan itu ya Rasulullah? Jawab beliau : "Diamnya itu tanda izinnya". (Riwayat Jama'ah Hadits)

Oleh golongan pertama, hadits ini dan sebagainya, diartikan perintah sunnah atau larangan makruh bukan perintah wajib atau larangan haram.

Golongan kedua menjawab pula bahwa hadits-hadits yang membolehkan si Ayah menikahkan anaknya dengan tidak izin lebih dahulu, terjadi sebelum datang perintah yang mewajibkan izin. Dan kejadian mengenai diri Aisyah (perkawinannya) dengan Rasulullah saw. adalah khususiyah (tertentu) bagi Rasulullah saw. sendiri, tidak dapat dijadikan dalil untuk umum.

Enggan Atau Berkeberatan Wali.
Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang setingkat (sekufu) dan walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan , maka hakim berhak menikahkannya, setelah ternyata keduanya setingkat (sekufu) dan setelah memberi nasihat kepada wali agar mencabut kebertannya itu. Maka apabila wali tetap berkeberatan, hakim berhak menikahkan perempuan itu.

Sabda Rasulullah saw.
"Dari Ma'qal bin Yasar, katanya : Saya telah menikahkan saudara saya dengan seseorang, kemudian diceraikannya. Setelah habis masa iddahnya, laki-laki itu datang meminang saudaraku itu kembali, Saya katakan kepadanya : "Saya telah nikahkan engkau dengan segala hormat, kemudian engkau ceraikan, sekarang engkau datang untuk meminangnya, demi Allah saya tidak akan mengembalikan saudaraku kepadamu". Keadaan laki-laki itu baik dan perempuan itu-pun ingin kembali kepadanya.  Maka dengan kejadian ini turunlah wahyu Allah : "Dan apabila kamu telah menceraikan perempuan kemudian habis masa iddahnya, maka janganlah kamu keberatan menikahkan mereka dengan bekas suaminya ". (Al-Baqarah ayat 232).  Ma'qal berkata : "Sekarang saya nikahkan mereka, ya Rasulullah!. Lantas dinikahkannya laki-laki itu dengan saudaranya". (HR. Bukhari).

Sabda Rasulullah saw.
"Dari 'Aisyah, katanya Rasulullah saw. telah berkata : "Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil; jika wali-wali itu enggan (berkeberatan) maka sulthan (hakim) lah yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai Wali" (HR. Darukquthni).

Dua Orang Wali Masing-masing Menikahkan. 
Seorang perempuan dikawinkan oleh dua orang walinya yang sederajat, kepada dua orang laki-laki, umpamanya Fathimah mempunyai wali saudaranya sendiri Ahmad dan Amin. Ahmad menikahkan Fathimah dengan Yusuf dan Amin menikahkan dengan Zaidan.
Jika diketahui yang terdahulu di antara keduanya maka yang terdahulu itulah yang sah dan yang kemudian tidak sah. Yang dimikian sesuai dengan Sabda Nabi saw. :
Kata Rasulullah saw. "Barangsiapa dari perempuan yang dinikahkan oleh dua orang walinya, maka perempuan itu untuk yang pertama diantara kedua laki-laki itu". (HR. Ahmad dll.)
Jika tidak diketahui yang terdahulu atau diketahui bersamaan, maka kedua perkawinan itu batal, karena asal perempuan itu haram sehingga jelas sebab halalnya.

Wali Ghaib.
Wali-wali itu diatur begitu rupa sebagai tersebut di atas, yang lebih dekat perhubungannya didahulukan daripada yang lebih jauh. Maka apabila wali yang lebih dekat  (akrab) itu, ghaib (jauh) dari perempuan yang akan dinikahkannya, sejauh perjalanan qashar dan ia tidak mempunyai wakil, maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh wali hakim karena yang ghaib itu masih tetap wali belum berpindah kepada wali yang lebih jauh hubungannya. Ini menurut pendapat mazhab Syafi'i.
Baca juga yang ini :

Pendapat mazhab Abu Hanifah, dinikahkan oleh wali yang lebih jauh hubungannya dari wali yang ghaib, menurut susunan wali-wali tersebut di atas, umpamanya wali yang ghaib itu Ayah, yang menikahkan anak itu, Kakeknya bukan hakim. Atau wali yang Ghaib itu Kakeknya, yang menikahkannya saudara seibu-sebapak dan seterusnya menurut susunan wali-wali.
Inilah alasan mazhab ini :

  1. Karena wali yang telah jauh hubungannya itu juga wali seperti yang dekat itu, hanya yang dekat itu didahulukan karena ia lebih utama, maka apabila ia tidak dapat menjalankannya keutamannya itu hilang dan berpindah kekuasaan itu kepada wali yang lain menurut susunan semestinya.
  2. Hakim itu (menurut hadits) wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, sedang dalam hal ini wali dari ghaib itu ada, maka hakim belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada. 

Dekian uraian singkat Keistimewaan Wali Seorang Ayah, Dari Wali-wali Yang Lain. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan, dalam beramal agama dengan benar.

Sumber :
Fiqih Islam : Oleh H.Sulaiman Rasjid, Cetakan Ketujuhbelas.
Penerbit Attahiriyah - Jakarta. (hal. 365 -368).


0 Response to "Keistimewaan Wali Seorang Ayah, Dari Wali-Wali Yang Lain. (Fiqih nikah)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel