Riwayat Halal Bi Halal Di Indonesia Dan Makna Kandungannya.


 

Rasiyambumen.com Kajian Khazanah Islam (kategori posting Mu'amalah).

Pembaca budiman Rahmat serta Bimbingan-Nya semoga selalu tercurah dan mengiringi kita dalam segala aktifitas di dunia ini untuk meraih kebahagiaan dan mengharap Ridho-Nya di Akhirat kelak. Aamiin...

Setelah Hari Raya Idul Fitri mengiringi di belakangnya acara yang disebut Halal Bi Halal. Hal ini dimaksudkan untuk saling maaf-memaafkan setelah menunaikan puasa ramadhan satu bulan penuh. Umumnya diadakan pada suatu tempat yang dianggap memadai oleh sekelompok orang. Ensiklopedi Indonesia 1978, mencatat bahwa Halal bi Halal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah Silaturahim.

Ada sementara kalangan yang enggan menamainya dengan halal bi halal, dikarenakan menurut mereka, istilah itu secara gramatika basa Arab tidak benar. Bahkan ada sementara kalangan yang menentang kegiatan ini apabila isinya adalah kegiatan saling memaafkan, dengan alasan bahwa mengkhususkan maaaf hanya pada Hari Raya Idul Fitri itu tidak berdasarkan secara syari'at  atau mereka mengatakan (bid'ah).
Namun demikian, semuanya menyadari bahwa tujuan Halal bi Halal adalah mengharmoniskan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

1. Sejarah permulaan Halal bi Halal
Sejarah dimulianya Halal bi halal ada banyak versi. Menrurut sebuah sumber yang dekat dengan keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula di gelar oleh KGPAA Mangkunegara I, yang masyhur dipanggil Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, fikiran, dan biaya, maka setelah selesai Shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Pada perkembangannya, kegiatan ini ditiru oleh ormas-ormas Islam dengan nama Halal bi Halal. Kemudian ditiru juga oleh instansi-instansi tertentu. Kegiatan ini mulai ramai berkembang setalah pasca kemerdekaan RI. Dan biasanya dilaksanakan tidak hanya pada tanggal 1 syawal saja, melainkan juga pada hari-hari berikutnya yang masih hangat dengan nuansa Idul Fitri.

2. Halal bi Halal  Ditinjau Dari Istilah Secara Bahasa. 
Secara bahasa, Halal bi Halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia dengan keterbatasn kemampuan bahasa Arab mereka-bertanya' Halal? saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan.  Kata majemuk ini tampaknya memang  "made in Indonesia" kata halal bi halal justru diserap dari Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai "hal maaf-memafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan.

Baca juga ini : Perilaku Atau Penampilan Adalah Cerminan Isi Hati.
Jika ditinjau secara etimologis Bahasa Arab, istilah Halal bi Halal tidak patut disahkan. Meskipun istilah ini asli "made in Indonsia", dan tidak di kenal di dunia Arab, apalagi di dunia Islam lainnya, namun tidaklah meniscayakan istilah ini tidak benar secara Arabic. Dalam ilmu Bahasa Arab sering dijumpai teori izhmar (sisipan spekulatif pada kalimat). Setidaknya ada dua cara agar istilah Halal bi Halal ini benar secara bahasa dengan pendekatan teori tersebut. 
  • Pertama Halal bi Halal menjadi thabu halal bi thariqin halal; mencari kehalalan denga cara yang halal. 
  • Kedua hala "yujza'u bi halal" kehalalan dibahas dengan kehalalan, ini hampir sepadan dengan rekasi ayat al-Qur'an saat berbicara hukum qishas : anna  al-nafsa bi al-nafsi, wa al-aina bi al-aini " .Sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata". (QS Al-Maidah :45). Dalam redaksi ayat tersebut mufasir biasanya memahaminya dengan teori izhmar, menjadi : anna al-nafsa "tuqtalu" bi al-nafsi, wa al-'aina "tufqa'u" bi al-aini. Hanya bedanya kalu Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedang redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif. 
3. Halal bi Halal Dan Sisi Positifnya. 
  • Silaturahim, paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian khusus untuk bersilaturahim dan saling memaafkan bagi semua pihak. Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan pentingnya bersilaturahim. 
  • Memaafkan tidak dibatasi waktu, saling maaf-memaafkan pada saat Idul Fiti dan Halal bi Halal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-nambahi syariat (bid'ah). Yang terpenting adalah Muslim meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu. Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturahim hanya berlaku saat Idul Ftiri atau Halal bi Halal saja, itulah yang salah secara syariat.
  • Fleksibelitas, Halal bi Halal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalitasnya.  Nilai universalitas silaturahim yang diajarkan dapat menjelma menjadi beragam acara dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apapun dalam implementasinya.
4. Pelanggaran-Pelanggaran Syari'at Dalam Halal bi Halal.
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam Halal bi Halal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariah, di antaranya :

  • Meng-akhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri yang akan datang. (Dengan pembentukan kepanitiaan). Ketika melakukan kesalahan atau kedzaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta ma'af, seperti disebutkan dalam  ungkapan yang terkenal "urusan ma'af memaafkan adalah urusan hari lebaran". Dan jadilah "mohon ma'af lahir batin" ucapan yang "wajib" pada hari Raya Idul Ftri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri yang akan datang dan kita diperintahkan untuk segera menhalalkan kedzaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut :   

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Barang siapa melakukan kedzaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan di kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya." (HR. nomor 6169)
Baca juga yang ini : Ada 3 Hal Pembersih Noda Hitam Atau Karat dalam Hati.
  • Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiatan yang lain, seperti padangan, haram dan zina. Karenanya, Nabi saw. melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut : 

 عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ كَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ 

Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Rasulullah saw. bersabda saat keluar dari masjid karena kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita : "Mundurlah kalian, kalian tidak berjalan di tengah jalan, berjalanlah dipinggirnya" Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya" (HR. Daud no.5272, dihukumi hasan oleh al-Albani).
  • Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram (muhrim). Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bi halal atau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadts berikut : 
   عن مَعْقِل بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ 
  • Dari Ma'qil bin Yasar ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Sungguh jika seorang diantara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" (HR. Ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh Al-Albani) Didalamnya terkadung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan ada sebagian ulama" 
Demikian uraian singkat Riwayat Halal bi Halal di Indoinesia dan Makna Kandungannya. Semoga bermanfaat dan menjadi perbendaharaan wawasan dalam pengamalan agama. 




Sumber : 
Repubika.co.id
Muslim.or.id dan telah diedit untuk keselarasan

0 Response to "Riwayat Halal Bi Halal Di Indonesia Dan Makna Kandungannya. "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel